Saturday, 25 January 2014

Journal of life



Entah seperti apakah situasi pada saat itu atau apa yang sedang terjadi pada saat itu. Tak kusadari tangisan serta jeritan keluar dari mulut yang mungil pada saat itu. Mungkin beda rasanya ketika keluar dari dunia lama (rahim) dan masuk ke dunia yang baru (Bumi). Tapi kala itu, entah apa yang dirasakan, entah sulit untuk menjelaskan apa yang dapat dilihat pada saat itu, karena kala itu mata ini tak kunjung terbuka. Syahadat ataupun adzan yang dibisikkan kala itu pun tak terdengar, padahal sang ayah membisikkan tepat di telinga. Itu yang baru terjadi di Tangerang, 17 Agustus 1997. Di kala negara ini baru mau memasuki era globalisasi, di kala rakyat menuntut untuk merubah kebijakan pemerintah orde lama, di kala kericuhan masih sering terjadi di negara ini. Ketika itu mata ini belum bisa menjelaskan apa yang terjadi pada masa itu.
Tahun 1998, Indonesia memasuki masa pemerintahan orde baru. Banyak massa yang berunjuk rasa di setiap sudut tempat. Dari mahasiswa hingga buruh pabrik, semua ikut turun ke jalan untuk menuntut kepemerintahan yang baik, hingga menyisakan kehancuran dimana-mana. Tapi kala itu hal yang paling menonjol adalah masalah krisis moneter yang melanda masyarakat seperti kami pada saat itu, walaupun negara telah memasuki orde baru. Untuk mengingat masa itu pun rasanya sulit tuk mengungkapkan.
Entah berapa lama keresahan rakyat berlangsung, yang jelas kami masih bisa merasakan sulitnya untuk melangsungkan hidup. Entah apa yang bisa saya rasakan waktu itu, karena saya hanya bisa mengharapkan pada orang yang mencarikan nafkah di keluarga kecil ini, dan yang masih saya bingungkan ketika itu ialah tangisan sang ibu yang selalu saya lihat setiap malam. Saya masih melihat tangisan setiap malam itu hingga sekitar memasuki zona tahun 2000-an.
Hanya yang saya ingat di era itu adalah ajakan shalat sang ayah untuk ke masjid, sang ibu yang setiap malam menangis di tiap malam, dan tetangga yang selalu mengajak bermain. Semuanya cukup sederhana dan cukup indah. Kami tinggal di rumah kontrakan yang cukup sederhana. Kami masih bisa makan sehari tiga kali. Tapi entah mengapa ketika mengingat masa-masa itu justru menjadi hal paling menakutkan. Mungkin karena kedua orang tua yang selalu berusaha menutupi kekurangan-kekurangan tersebut dengan canda tawa sang ayah ketika mengajak ke masjid dan nyanyian-nyanyian ibu ketika menyuapi saya dan menina bobokan saya. Dan entah mengapa saya masih bisa kepedihan jerih payah mereka pada saat itu.
Hingga saya bisa membuka mata saya untuk memahami masa lalu. Rumah itu, televisi itu, mainan-mainan itu. Sedikit demi sedikit waktulah yang bisa menunjukkan pada kita apa arti dari semua yang bisa kita rasakan masa lalu, walaupun kita belum bisa mengerti masa-masa itu. Orang-orang yang ada dalam benak kita pada masa lalu kita, merekalah yang menuntun kita menuju masa depan hidup kita yang sebenarnya. Semuanya itu sebenarnya ada. Tapi terkadang kita hanya bisa meraskan bahwa itu adalah mimpi belaka.
Pelajaran demi pelajaran, jenjang demi jenjang, peringkat demi peringkat. Waktu tak pernah memotong, tapi bagaimana kita bisa salah melakukan hingga kita mengira waktu telah memotong kita. Ambil pelajaran hidup kawan. Takkan ada yang berarti walaupun pelajaran dikelas sekalipun. Sekolah bisa mengajarkan bagaimana hidup, tapi hidup bisa menjelaskan apa itu hidup. Itulah gunanya pertumbuhan dan perkembangan.
Dunia telah mengajak pada setiap manusia untuk membuka mata, sebenar-benarnya mata. Dari serentetan peristiwa, dari serentetan nasib, dari serentetan orang. Mengalami atau di alami. Dunia memang berasa mimpi ketika kita telah mati kelak. Tapi kini kita sebenarnya telah mati, mati dari dunia rahim. Dan kita pasti akan mati dari dunia ini.
Hidup dan mati itu sederhana.
Tahun 2003, saat itu saya telah mulai memasuki dunia pendidikan layaknya anak-anak sepantaran saya yang lainnya. Dari sana saya mengetahui siapa teman, siapa itu guru. Pada saat itu, keadaan ekonomi kami lumayan membaik, hingga orang tua saya bisa menyekolahkan saya. Kala itu, hanya sang ayah yang bekerja hingga sore hari. Masih ada diantara saya dengan ayah saya keakraban, setiap pulang dari mengajar beliau selalu membelikan sebuah coklat. Entah dari mana tradisi atau kebiasaan itu dimulai, tapi saya menikmati di kala itu. Sekolah, rumah, coklat.
Semua begitu cepat berlalu, sekolah dasar saat itu sedang saya tempuh. Ada satu kejadian yang membuat saya ketakutan ketika itu. Saya telah duduk di kelas 4 SD kalau tidak salah. Ketika sepulang dari sekolah, para tetangga mengabarkan pada saya, ibu saya telah masuk rumah sakit. Dan saya mengingat kejadian ketika pagi hari ibu saya mengalami kesakitan yang luar biasa, yaitu angin duduk. Setelah itu saya shalat dzuhur dan berdo’a kepada Allah supaya tidak terjadi apa-apa kepada orang tua saya. Awalnya saya menanggapi penyakit itu hanya biasa-biasa saja, namun kemudian saya tahu bahwa penyakit ini biasanya langsung menimbulkan kematian. Saya ketahui hal ini ketika saya beranjak ke SMP.
Setelah duduk dari bangku SMP hingga SMA kini, banyak perubahan yang terjadi dari saya sendiri, entah itu buruk ataukah baik, tapi justru saya pikir itu adalah perubahan yang amat buruk.













No comments:

Post a Comment