Entah seperti
apakah situasi pada saat itu atau apa yang sedang terjadi pada saat itu. Tak
kusadari tangisan serta jeritan keluar dari mulut yang mungil pada saat itu.
Mungkin beda rasanya ketika keluar dari dunia lama (rahim) dan masuk ke dunia
yang baru (Bumi). Tapi kala itu, entah apa yang dirasakan, entah sulit untuk
menjelaskan apa yang dapat dilihat pada saat itu, karena kala itu mata ini tak
kunjung terbuka. Syahadat ataupun adzan yang dibisikkan kala itu pun tak
terdengar, padahal sang ayah membisikkan tepat di telinga. Itu yang baru
terjadi di Tangerang, 17 Agustus 1997. Di kala negara ini baru mau memasuki era
globalisasi, di kala rakyat menuntut untuk merubah kebijakan pemerintah orde
lama, di kala kericuhan masih sering terjadi di negara ini. Ketika itu mata ini
belum bisa menjelaskan apa yang terjadi pada masa itu.
Tahun 1998,
Indonesia memasuki masa pemerintahan orde baru. Banyak massa yang berunjuk rasa
di setiap sudut tempat. Dari mahasiswa hingga buruh pabrik, semua ikut turun ke
jalan untuk menuntut kepemerintahan yang baik, hingga menyisakan kehancuran
dimana-mana. Tapi kala itu hal yang paling menonjol adalah masalah krisis
moneter yang melanda masyarakat seperti kami pada saat itu, walaupun negara
telah memasuki orde baru. Untuk mengingat masa itu pun rasanya sulit tuk
mengungkapkan.
Entah berapa
lama keresahan rakyat berlangsung, yang jelas kami masih bisa merasakan
sulitnya untuk melangsungkan hidup. Entah apa yang bisa saya rasakan waktu itu,
karena saya hanya bisa mengharapkan pada orang yang mencarikan nafkah di
keluarga kecil ini, dan yang masih saya bingungkan ketika itu ialah tangisan
sang ibu yang selalu saya lihat setiap malam. Saya masih melihat tangisan
setiap malam itu hingga sekitar memasuki zona tahun 2000-an.
Hanya yang
saya ingat di era itu adalah ajakan shalat sang ayah untuk ke masjid, sang ibu
yang setiap malam menangis di tiap malam, dan tetangga yang selalu mengajak
bermain. Semuanya cukup sederhana dan cukup indah. Kami tinggal di rumah
kontrakan yang cukup sederhana. Kami masih bisa makan sehari tiga kali. Tapi
entah mengapa ketika mengingat masa-masa itu justru menjadi hal paling
menakutkan. Mungkin karena kedua orang tua yang selalu berusaha menutupi
kekurangan-kekurangan tersebut dengan canda tawa sang ayah ketika mengajak ke
masjid dan nyanyian-nyanyian ibu ketika menyuapi saya dan menina bobokan saya.
Dan entah mengapa saya masih bisa kepedihan jerih payah mereka pada saat itu.
Hingga saya
bisa membuka mata saya untuk memahami masa lalu. Rumah itu, televisi itu, mainan-mainan
itu. Sedikit demi sedikit waktulah yang bisa menunjukkan pada kita apa arti
dari semua yang bisa kita rasakan masa lalu, walaupun kita belum bisa mengerti
masa-masa itu. Orang-orang yang ada dalam benak kita pada masa lalu kita,
merekalah yang menuntun kita menuju masa depan hidup kita yang sebenarnya.
Semuanya itu sebenarnya ada. Tapi terkadang kita hanya bisa meraskan bahwa itu
adalah mimpi belaka.
Pelajaran demi
pelajaran, jenjang demi jenjang, peringkat demi peringkat. Waktu tak pernah
memotong, tapi bagaimana kita bisa salah melakukan hingga kita mengira waktu
telah memotong kita. Ambil pelajaran hidup kawan. Takkan ada yang berarti
walaupun pelajaran dikelas sekalipun. Sekolah bisa mengajarkan bagaimana hidup,
tapi hidup bisa menjelaskan apa itu hidup. Itulah gunanya pertumbuhan dan
perkembangan.
Dunia telah
mengajak pada setiap manusia untuk membuka mata, sebenar-benarnya mata. Dari
serentetan peristiwa, dari serentetan nasib, dari serentetan orang. Mengalami
atau di alami. Dunia memang berasa mimpi ketika kita telah mati kelak. Tapi
kini kita sebenarnya telah mati, mati dari dunia rahim. Dan kita pasti akan
mati dari dunia ini.
Hidup dan mati
itu sederhana.
Tahun 2003,
saat itu saya telah mulai memasuki dunia pendidikan layaknya anak-anak
sepantaran saya yang lainnya. Dari sana saya mengetahui siapa teman, siapa itu
guru. Pada saat itu, keadaan ekonomi kami lumayan membaik, hingga orang tua
saya bisa menyekolahkan saya. Kala itu, hanya sang ayah yang bekerja hingga
sore hari. Masih ada diantara saya dengan ayah saya keakraban, setiap pulang
dari mengajar beliau selalu membelikan sebuah coklat. Entah dari mana tradisi
atau kebiasaan itu dimulai, tapi saya menikmati di kala itu. Sekolah, rumah,
coklat.
Semua begitu
cepat berlalu, sekolah dasar saat itu sedang saya tempuh. Ada satu kejadian
yang membuat saya ketakutan ketika itu. Saya telah duduk di kelas 4 SD kalau
tidak salah. Ketika sepulang dari sekolah, para tetangga mengabarkan pada saya,
ibu saya telah masuk rumah sakit. Dan saya mengingat kejadian ketika pagi hari
ibu saya mengalami kesakitan yang luar biasa, yaitu angin duduk. Setelah itu
saya shalat dzuhur dan berdo’a kepada Allah supaya tidak terjadi apa-apa kepada
orang tua saya. Awalnya saya menanggapi penyakit itu hanya biasa-biasa saja,
namun kemudian saya tahu bahwa penyakit ini biasanya langsung menimbulkan
kematian. Saya ketahui hal ini ketika saya beranjak ke SMP.
Setelah duduk
dari bangku SMP hingga SMA kini, banyak perubahan yang terjadi dari saya
sendiri, entah itu buruk ataukah baik, tapi justru saya pikir itu adalah
perubahan yang amat buruk.