Sunday 23 November 2014

TITIK TERANG

Dua  bola mata dikepala manusia selalu memberikan persepsi berbeda kedalam isi kepalanya yaitu otak. Beberapa manusia dituntut untuk melihat indahnya fatamorgana dunia fana, adapun yang dituntut untuk melihat kerasnya dunia hingga bisa merasakan sakitnya hidup. Dua bola mata dikepala selalu terbuka, tapi belum tentu mata dalam hati bisa melihat. Dua bola mata dikepala bisa melihat dunia yang indah ataupun yang keras, tapi mata hati hanya bisa melihat sinar keindahan lebih daripada dunia. Mata hati yang bisa menuntun fungsi jalan anggota tubuh menuju titik terang dalam hidup. Dikala seseorang yang benar-benar menggunakannya akan mengerlipkan matanya berkali-kali seolah-olah tak percaya akan apa yang dirasakan dan dilihatnya kala itu. Hingga membuat garis melengkung lebar dibibir tanda puas bahkan air mata yang jatuh kemudian mengalir. Mungkin itu bahagia. Ya, titik terang itu adalah bahagia.
Semua orang bisa menggunakannya, jika mereka bisa melindungi mata hatinya dari besarnya kabut beserta debu yang akan menutupinya, bahkan membutakannya. Buta yang menyebabkan orang tersebut tersesat dari titik terangnya. Terkadang mereka bisa bahagia tanpa titik terangnya, artinya ia bahagia dalam kegelapan. Sehingga mereka hanya bisa melihat dengan kedua bola mata dikepalanya saja yang hanya bisa melihat KEBOHONGAN. Pengubah kebaikan menjadi keburukan, kebajikan menjadi kemunafikan, keindahan menjadi kerusakan. Atau sebaliknya.
Bernafas dapat dilakukan semua insan. Tapi, sadarkah mereka apakah yang dihirupnya udara segar? Entahlah.. rasanya seperti itu, tapi mungkin kenyataannya tidak. Tampak sehat paru-paru serta jantungnya, tapi mungkin saja sebaliknya.
Sepertinya kesadaran paling dalam manusia ada pada titik paling rendah dalam dirinya. Ketika mata hati kala itu benar-benar tertutup. Air tak lagi dapat mengalir dari kedua bola matanya. Bahkan, ketika kedua bola matanya tak lagi bisa melihat, walaupun hanya bisa melihat layaknya sebatas cermin. Dimana mereka baru bisa merasakan benar-benar “tersesat”. Melambai-lambaikan tangan berharap ada yang menuntun dan menggandeng untuk mengeluarkannya. Padahal, tak ada seorang pun yang bisa menuntunnya karena mungkin tak banyak juga orang yang bisa melihat.
Kini hanya percobaan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mencari titik terang, karena mungkin barangkali lelah yang dapat menyentuh titik paling rendah dalam insan.