Jika
seandainya waktu boleh untuk dibohongi, ingin rasanya meminta waktu untuk lebih
membohongi dirinya sendiri meminta kembali masa lalu. Menunda berbagai
perbuatan tolol yang sudah terlampau diperbuat. Tapi apa daya, semesta dunia
melarang waktu untuk berdusta kepada siapapun. Mungkin waktu takut terusir dari
dunia hitungan konversi semesta. Ini bukan penyesalan. Tapi kebencian yang
tertanam kepada masa lalu. Hingga kini.
Jika
seandainya kata “seandainya” bukan bahasa setan, saya akan terus selalu mengucapkan
kata sial ini seumur hidup. Lengkap, hidup akan penuh dengan sejuta penyesalah
dengan masa lalu. Aksi lebih besar daripada berbicara tak semudah dibayangkan.
Ada saatnya manusia butuh bicara tak hanya sekedar berbuat demi mencapai
sesuatu yang ditunggunya. Bicara lebih besar daripada aksi justru lebih bodoh
lagi ternyata. Waktu akan semakin habis, suara pun akan cepat habis.
Mati
bukan lagi pilihan. Jatuh bangun sudah terlalu membosankan, karena lebih banyak
jatuh dan enggan untuk bangun. Di tengah keengganan untuk bangun kembali,
manusia lebih memilih cepat untuk mati. Berpikir untuk semua urusan cepat
selesai. Bukan lagi derita bukan juga tawa.
Masa
lalu hanya bisa dikenang oleh mata. Waktu jadi saksi yang mungkin hidup atau
mungkin juga mati. Waktu tak bicara, tapi berbuat. Menyaksikan dan memutar
peristiwa. Entah dimana memori atau otak waktu.
Manusia
mungkin bodoh, tapi mereka tak akan bisa membodohi waktu. Manusia akan
kebingungan untuk melihat waktu dengan mata bodohnya.
Untuk apapun gunanya waktu itu, tetap
waktu akan berputar sebagai mana mestinya. Dan kata-kata tipuan manusia hanya
bisa menipu satu sama lainnya, tapi mereka tak akan bisa membohongi waktu,
justru waktu merekam omong kosong mereka.